Pendidikan dan
pengajaran memang tidak identik dengan kekerasan, baik di masa yang lalu
apalagi sekarang ini. Tapi kekerasan sering kali dihubung-hubungkan
dengan kedisiplinan dan penerapannya dalam dunia pendidikan. Istilah
“tegas” dalam membina sikap disiplin pada anak didik, sudah lazim
digantikan dengan kata “keras”. Hal ini kemudian ditunjang dengan
penggunaan kekerasan dalam membina sikap disiplin di dunia militer,
khususnya pendidikan kemiliteran. Ketika kemudian cara-cara pendidikan
kemiliteran itu diadopsi oleh dunia pendidikan sipil, maka cara “keras”
ini istilah sekarang adalah kekerasan juga ikut diambil alih di
lingkungan sekolah.
Kekerasan dapat terjadi dimana saja, termasuk di
sekolah. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh UNICEF (2006)
di beberapa daerah di Indonesia menunjukkan bahwa sekitar 80% kekerasan
yang terjadi pada siswa dilakukan oleh guru. Belakangan ini masyarakat
dikejutkan dengan berita mengenai seorang guru yang menganiaya salah
satu siswanya akibatnya siswa tersebut harus dirawat di rumah sakit.
Kita tahu bahwa sekolah merupakan tempat siswa menimba ilmu pengetahuan
dan seharusnya menjadi tempat yang aman bagi siswa. Namun ternyata di
beberapa sekolah terjadi kasus kekerasan pada siswa oleh guru.
Kekerasan-kekerasan yang dilakukan oleh guru kepada siswa seperti
dilempar penghapus dan penggaris, dijemur di lapangan, dan dipukul. Di
samping itu siswa juga mengalami kekerasan psikis dalam bentuk bentakan
dan kata makian, seperti bodoh, goblok, kurus, ceking dan sebagainya.
Kuriake
mengatakan bahwa di Indonesia cukup banyak guru yang menilai cara
kekerasan masih efektif untuk mengendalikan siswa (Phillip, 2007).
Padahal cara ini bisa menyebabkan trauma psikologis, atau siswa akan
menyimpan dendam, makin kebal terhadap hukuman, dan cenderung
melampiaskan kemarahan dan agresi terhadap siswa lain yang dianggap
lemah. Lingkaran negatif ini jika terus berputar bisa melanggengkan
budaya kekerasan di masyarakat.
Untuk itu, pada kesempatan ini, kita
akan membahas mengenai kekerasan pada siswa dan apa yang harus dilakukan
oleh masing-masing pihak yang terkait.
Kita sering mendengar kasus kekerasan yang dilakukan oleh guru kepada murid di tv dan koran, diantaranya adalah:
Pamekasan
– Seorang guru agama Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Pamekasan, Madura,
menggampar seorang siswa kelas 2. Akibatnya, telinga kiri siswa tersebut
terus berdengung dan nyaris tidak bisa mendengar.
Siswa tersebut
tidak mengetahui penyebab hingga dirinya menjadi sasaran pemukulan guru
wanita itu. Aksi pemukulan itu sendiri terjadi Selasa (15/12/2009) siang
di ruang kelas. Siswa yang saat itu sedang di ruang kelas tiba-tiba
dihampiri sang guru. Setelah mendekat, tiba-tiba tangan kanan guru
meninju wajah siswa.
Selain itu tindak kekerasan guru terhadap siswanya adalah:
Surabaya
– Kepala Sekolah SMAN 16, membantah melakukan pemukulan terhadap siswa
kelas XII IPS 1. Menurutnya, dirinya tidak mempunyai niatan memukul
siswanya. Dia mengatakan siswa tersebut dikenal sebagai anak yang nakal
dan sering berbuat onar. Ia juga dikenal sebagai ketua kelompok
siswa-siswa yang nakal. Pihak sekolah juga sudah mencatat kenakalannya
sebanyak 3 kali melakukan pelanggaran di sekolah. Diantaranya, sering
mengolok-ngolok gurunya, sering memalak siswa lainnya. Bahkan, saat
senam pagi, ia dan kawan-kawannya bercanda dan tidak mau berolah raga.
Sumber Berita :
http://surabaya.detik.com/read/2009/10/17/183214/1223371/466/kepsek-sman-16-bantah-pukul-muridnya.
Dan masih banyak lagi kasus yang mengkaji tentang pemukulan guru kepada
siswa.
B. RUMUSAN MASALAH
Adapaun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Mengapa kekerasan sering terjadi dalam dunia pendidikan?
2. Bagaimana dampak kekerasan pada siswa?
3. Bagaimana cara mengatasi kekerasan dalam dunia pendidikan?
C. TUJUAN
Adapun tujuan pada makalah berikut adalah sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi penyebab terjadinya kekerasan pada siswa oleh guru
2. Menguraikan dampak kekerasan guru terhadap siswa
3. Menetapkan solusi yang yang tepat untuk mengatasi kekerasan pada siswa.
BAB II
PEMBAHSAN
A. TINJAUAN KEKERASAN DARI BERBAGAI LANDASAN
Kekerasan adalah tindakan yang tidak terpuji dan tentunya sangat
bertentangan dengan berbagai landasan dalam pendidikan. Berikut paparan
mengenai kekerasan bila ditinjau dari berbagai landasan pendidikan di
Indonesia:
Ø Tinjauan dari Landasan Hukum Pendidikan
Kekerasan dalam pendidikan sangat bertentangan dengan:
1.
pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, “fungsi pendidikan nasional untuk
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab”.
2. pasal 4 ayat 1 yang
menyatakan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demikratis dan
berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak
asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukkan bangsa
(UU Sisdiknas)
3. Tentang kekerasan fisik, pada pasal 80 UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dinyatakan sebagai berikut:
(1)
Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman
kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling
banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
(2) Dalam
hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3) Dalam
hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka pelaku dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(4) Pidana
ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut
orang tuanya.
Kemudian yang berkaitan dengan kekerasan seksual;
Pasal 81
(1)
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan
orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp
60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
(2) Ketentuan pidana
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang
dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau
membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Pasal 82
“Setiap
orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan,
memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk
anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling
singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga
ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta
rupiah).”
(UU Perlindungan Anak)
Selanjutnya secara khusus,
undang-undang ini bahkan mengamanatkan bahwa anak-anak wajib dilindungi
dari tindak kekerasan yang dilakukan oleh siapapun, termasuk guru di
sekolah.
Pasal 54
“Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib
dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola
sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau
lembaga pendidikan lainnya.”
(UU Perlindungan Anak)
Jika melihat
undang-undang tersebut, sesungguhnya sudah sangat nyata bahwa tindakan
kekerasan terhadap anak merupakan tindakan kriminal yang pelakunya akan
diproses secara hukum. Tindakan kekerasan dengan bungkus pendidikan juga
dapat mengakibatkan pelaku dikenai tindak pidana, sebagaimana
disebutkan dalam pasal 80 UU. No. 23 tahun 2002.
Ø Tinjauan dari Landasan Psikologi Pendidikan
Tindakan
kekerasan atau bullying dapat dibedakan menjadi kekerasan fisik dan
psikis. Kekerasan fisik dapat diidentifikasi berupa tindakan pemukulan
(menggunakan tangan atau alat), penamparan, dan tendangan. Dampaknya,
tindakan tersebut dapat menimbulkan bekas luka atau memar pada tubuh,
bahkan dalam kasus tertentu dapat mengakibatkan kecacatan permanen yang
harus ditanggung seumur hidup oleh si korban.
Adapun kekerasan psikis
antara lain berupa tindakan mengejek atau menghina, mengintimidasi,
menunjukkan sikap atau ekspresi tidak senang, dan tindakan atau ucapan
yang melukai perasaan orang lain.
Dampak kekerasan secara psikis
dapat menimbulkan perasaan tidak nyaman, takut, tegang, bahkan dapat
menimbulkan efek traumatis yang cukup lama. Selain itu, karena tidak
tampak secara fisik, penanggulangannya menjadi cukup sulit karena
biasanya si korban enggan mengungkapkan atau menceritakannya.
Dampak
lain yang timbul dari efek bullying ini adalah menjadi pendiam atau
penyendiri, minder dan canggung dalam bergaul, tidak mau sekolah, stres
atau tegang, sehingga tidak konsentrasi dalam belajar, dan dalam
beberapa kasus yang lebih parah dapat mengakibatkan bunuh diri.
Ditinjau
dari psikologi perkembangan, Havingrust dalam Pidarta (2007:199)
menyatakan bahwa perkembangan psikologi pada masa anak-anak adalah
membentuk sikap diri sendiri, bergaul secara rukun, membuat kebebasan
diri, membentuk kata hati, moral dan nilai, dan mengembangkan sikap
terhadap kelompok serta lembaga-lembaga sosial. Tentu saja perkembangan
ini akan terhambat dengan adanya kekerasan dalam pendidikan.
Kekerasan
yang dilakukan oleh guru sangat bertentangan dengan pendapat Freedman
(Pidarta, 2007:220) yang menyatakan bahwa guru harus mampu membangkitkan
kesan pertama yang positif dan tetap positif untuk hari-hari
berikutnya. Sikap dan perilaku guru sangat penting artinya bagi kemauan
dan semangat belajar anak-anak. Jadi, hukuman yang dilakukan oleh guru
akan menjadi kesan negatif yang berdampak negatif pula dalam proses
belajar anak.
Sekecil apapun dampak yang timbul terhadap praktek
kekerasan dalam pendidikan, tetap saja hal ini adalah suatu kesalahan.
Sekolah sepatutnya tempat bagi siswa untuk berkembang. Namun, di saat
kekerasan terjadi di sekolah, sekolah justru mematikan perkembangan
psikologi siswa.
Ø Tinjauan dari Landasan Filsafat Pendidikan
Menurut
Sekjen KPA, Arist Merdeka Sirait, pada tahun 2009 telah terjadi aksi
bullying atau kekerasan di sekolah sebanyak 472 kasus. Angka ini
meningkat dari tahun 2008, yang jumlahnya sebanyak 362 kasus
(http://www.lautanindonesia.com/forum/berita-(news)/kekerasan-smun-jakarta-970-82-34-dll)/).
Begitu
banyak kekerasan yang terjadi di sekolah merupakan hal yang menyedihkan
bagi dunia pendidikan. Kekerasan seharusnya tidak terjadi di negara
kita yang berfalsafah Pancasila, apalagi ini terjadi dalam dunia
pendidikan. Bangsa kita adalah bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan yang sesuai dengan sila kedua Pancasila. Segala bentuk
kekerasan tentunya melanggar nilai-nilai kemanusiaan khususnya hak asasi
manusia. Dan pelanggaran hakasasi manusia akan mendapatkan konsekuensi
hukum sesuai dengan perundang-undangan yang belaku di negara kita.
Ø Tinjauan dari Landasan Sosial Budaya
Pada landasan sosial budaya, pendidikan diarahkan untuk mengembangkan
hubungan antarindividu, individu dan kelompok dan antarkelompok serta
mengembangkan nilai-nilai budaya Indonesia. Namun, hal tersebut hanya
menjadi wacana saat kekerasan terjadi dalam pendidikan. Siswa tidak
dapat mengembangkan hubungan yang baik antarindividu, individu dan
kelompok dan antarkelompok ketika “budaya senioritas” masih melekat di
sekolah. Di sisi lain, terkikisnya budaya bangsa yang dikenal dunia
dengan sopan santunnya akibat maraknya tindak kekerasan khususnya dalam
dunia pendidikan.
B. DEFINISI KEKERASAN PADA SISWA
Secara umum, kekerasan dapat diartikan sebagai suatu tindakan yang tidak
menyenangkan atau merugikan orang lain, baik secara fisik maupun
psikis. Kekerasan tidak hanya berbentuk eksploitasi fisik semata, tetapi
justru kekerasan psikislah yang perlu diwaspadai karena akan
menimbulkan efek traumatis yang cukup lama bagi si korban. Dewasa ini,
tindakan kekerasan dalam pendidikan sering dikenal dengan istilah
bullying. Pada kenyataannya, praktik bullying ini dapat dilakukan oleh
siapa saja, baik oleh teman sekelas, kakak kelas ke adik kelas, maupun
bahkan seorang guru terhadap muridnya. Terlepas dari alasan apa yang
melatarbelakangi tindakan tersebut dilakukan, tetap saja praktik
bullying tidak bisa dibenarkan, terlebih lagi apabila terjadi di
lingkungan sekolah.
Menurut Blask (1951) kekerasan, violence,
adalah pemakaian kekuatan, force, yang tidak adil, dan tidak dapat
dibenarkan, yang disertai dengan emosi yang hebat atau kemarahan yang
tak terkendali, tiba-tiba, bertenaga, kasar, dan menghina. Kekuatan itu,
biasanya kekuatan fisik, disalahgunakan terhadap hak-hak umum, terhadap
aturan hukum dan kebebasan umum, sehingga bertentangan dengan hukum.
Menurut Webster, kekerasan adalah rough or injurious physical force,
action, or treatment, or an unjust or unwarranted exertion of force or
power, as against rights, laws, etc. (Webster). Menurut UU Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga Nomor 23 tahun 2004, pasal 1 ayat (1),
kekerasan adalah perbuatan terhadap seseorang, terutama perempuan, yang
berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,
psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara
melawan hukum dalam lingkungan rumah tangga. Menurut KUHP, pasal 89,
melakukan kekerasan artinya mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani
yang tidak kecil atau sekuat mungkin, secara tidak sah, misalnya memukul
dengan tangan atau dengan segala macam senjata, menyepak, menendang,
dan sebagainya, sehingga orang yang terkena tindakan itu merasa sakit
yang sangat.
Maraknya tayangan-tayangan kekerasan dalam dunia
pendidikan, khususnya yang dilakukan oleh guru terhadap siswanya ataupun
oleh siswa terhadap temannya, seharusnya mampu membuka atau menggugah
hati kita sebagai seorang pendidik, bahwa tidak tertutup kemungkinan
praktik bullying tersebut terjadi pula di lingkungan sekolah kita
masing-masing.
Pelecehan sekecil apapun atau hukuman yang
berlebihan turut andil menabur benih kekerasan dalam diri generasi muda.
Karena itu, tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan tujuan
pendidikan harus sesegera mungkin di tiadakan, agar lingkaran setan yang
menjadi bencana dunia pendidikan dapat segera terputus.
C. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KEKERASAN DALAM DUNIA PENDIDIKAN
Penyebab kekerasan terhadap peserta didik bisa terjadi karena guru
tidak paham akan makna kekerasan dan akibat negatifnya. Guru mengira
bahwa peserta didik akan jera karena hukuman fisik. Sebaliknya, mereka
membenci dan tidak respek lagi padanya. Kekerasan dalam pendidikan
terjadi karena kurangnya kasih sayang guru. Seharusnya guru
memperlakukan murid sebagai subyek, yang memiliki individual differences
(Eko Indarwanto,2004). Juga, karena kurang kompetensi kepala sekolah
membimbing dan mengevaluasi pendidik di sekolahnya. Orangtua mesti ikut
mengurangi mengatasi kekerasan di sekolah dalam bentuk hukuman fisik,
karena sekolah bukan gedung pengadilan. Komite Sekolah mesti mengatasi
dan meniadakan praktik kererasan, yang bertentangan dengan tujuan
pendidikan di sekolah, agar tidak muncul kelak guru yang kasar, tidak
menghormati orang lain, pemarah, pembenci dan sebagainya. Kekerasan bisa
terjadi karena pendidik sudah tidak atau sangat kurang memiliki rasa
kasih sayang terhadap murid, atau dahulu ia sendiri diperlakukan dengan
keras.
Selain itu kekerasan oleh guru pada siswa disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut:
a. Kurangnya pengetahuan guru bahwa kekerasan itu tidak efektif untuk memotivasi siswa atau merubah perilaku,
b.
Persepsi guru yang parsial dalam menilai siswa. Misalnya, ketika siswa
melanggar, bukan sebatas menangani, tapi mencari tahu apa yang
melandasi tindakan itu,
c. Adanya hambatan psikologis, sehingga dalam mengelola masalah guru lebih sensitive dan reaktif,
d.
Adanya tekanan kerja guru: target yang harus dipenuhi oleh guru,
seperti kurukulum, materi, prestasi yang harus dicapai siswa,
sementara kendala yang dihadapi cukup besar,
e. Pola yang
dianut guru adalah mengedepankan factor kepatuhan dan ketaatan pada
siswa, mengajar satu arah (dari guru ke murid),
f. Muatan
kurikulum yang menekankan pada kemampuan kognitif dan cenderung
mengabaikan kemampuan efektif, sehingga guru dalam mengajar suasananya
kering, stressful, tidak menarik, padahal mereka dituntut mencetak
siswa-siswa berprestasi,
g. Tekanan ekonomi, pada gilirannya
bisa menjelma menjadi bentuk kepribadian yang tidak stabil,seperti
berpikir pendek, emosional, mudah goyah, ketika merealisasikan
rencana- rencana yang sulit diwujudkan.
D. DAMPAK KEKERASAN PADA SISWA.
Dampak yang akan muncul dari kekerasan akan melahirkan pesimisme dan
apatisme dalam sebuah generasi. Selain itu terjadi proses ketakutan
dalam diri anak untuk menciptakan ide-ide yang inovatif dan inventif.
Kepincangan psikologis ini dapat dilihat pada anak-anak sekolah saat ini
yang cenderung pasif dan takut berbicara dimuka kelas, bolos ketika
guru galak mengajar. Sedangkan dalam keluarga, anak yang sering diberi
hukuman fisik akan mengalami gangguan psikologis dan akan berperilaku
lebih banyak diam dan selalu menyendiri selain itu terkadang melakukan
kekerasan yang sama terhadap teman main, kekerasan terhadap adik kelas,
terjadi senioritas dan kekerasan lain dalam dunia pendidikan.
Apa
saja dampak kekerasan pada siswa? Kekerasan yang terjadi pada siswa di
sekolah dapat mengakibatkan berbagai dampak fisik dan psikis, yaitu:
• kekerasan secara fisik mengakibatkan organ-organ tubuh siswa mengalami kerusakan seperti memar, luka-luka, dll.
•
trauma psikologis, rasa takut, rasa tidak aman, dendam, menurunnya
semangat belajar, daya konsentrasi, kreativitas, hilangnya inisiatif,
serta daya tahan (mental) siswa, menurunnya rasa percaya diri, inferior,
stress, depresi dsb. Dalam jangka panjang, dampak ini bisa terlihat
dari penurunan prestasi, perubahan perilaku yang menetap,
• siswa
yang mengalami tindakan kekerasan tanpa ada penanggulangan, bisa saja
menarik diri dari lingkungan pergaulan, karena takut, merasa terancam
dan merasa tidak bahagia berada diantara teman-temannya. Mereka juga
jadi pendiam, sulit berkomunikasi baik dengan guru maupun dengan sesama
teman. Bisa jadi mereka jadi sulit mempercayai orang lain, dan semakin
menutup diri dari pergaulan.
• Hukuman fisik biasanya dijalankan
oleh guru di bawah kondisi tekanan emosional yang dipicu oleh perilaku
murid. Akibat langsung pada pendidik sesudah melaksanakan hukuman fisik
yaitu naiknya tekanan darah, disusul dengan turunnya ketegangan emosi.
Ini sebenarnya timbul dari kehendaknya sendiri, self reinforced. Si guru
akan berkata “Sekarang aku sudah merasa baik lagi”. Situasi ini
menuntut kendali-diri pendidik demi kepentingan jangka panjang peserta
didik.
• Murid yang mengalami hukuman fisik akan memakai kekerasan
di keluarganya nanti, sehingga siklus kekerasan makin kuat. Gershoff,
yang meneliti kasus ini selama 60 tahun sejak 1938, menemukan sejumlah
perilaku negatif akibat dari kekerasan, seperti perilaku bermasalah
dalam agresi, anti-sosial, dan gangguan kesehatan mental. Kekerasan
tidak mengajar murid untuk bisa membedakan mana yang baik dan mana yang
buruk, dan tidak menghentikan perilaku keliru jika mereka ada di luar
pantauan orangtua dan guru (Ad hoc Corporal Punishment Committee (2003)
•
Murid itu, sebagai korban, kehilangan haknya atas pendidikan, dan
haknya untuk bebas dari segala bentuk kekerasan fiisik dan mental yang
tidak manusiawi. Martabat mereka direndahkan. Pertumbuhan dan
perkembangan diri mereka dihambat.
E. SOLUSI MASALAH
Karena sekolah dan guru yang kurang tegas maka murid jadi bebas sehingga
tidak mengindahkan norma-norma dan peraturan yang ada. Misalnya murid
akan berpenampilan seenaknya sendiri seperti preman atau spg, bebas
bolos sekolah tanpa hukuman yang berat, bebas melakukan kenakalan di
luar batas kewajaran, meremehkan guru, dan lain sebagainya.
Oleh
karena itulah maka diperlukan peran pemerintah untuk membuat delapan
standar pendidikan yang baik yang dapat membuat murid takut dalam artian
yang baik. Guru seharusnya boleh menghukum siswa yang nakal dan tidak
disiplin dengan sedikit kekerasan dan hukuman fisik agar para
siswa-siswi takut dan terpacu untuk belajar, patuh, taat, hormat,
disiplin, bertanggung jawab, tahu aturan, dan lain sebagainya.
Beberapa solusi yang diberikan untuk mengatasi kekerasan pada siswa di sekolah diantaranyan adalah sebagai berikut:
a. Menerapkan pendidikan tanpa kekerasan di sekolah
b. Mendorong/mengembangkan humaniasi pendidikan;
- Menyatupadukan kesadaran hati dan pikiran,
- Membutuhkan keterlibatan mental dan tindakan sekaligus,
- Suasana belajar yang meriah,gembira dengan memadukan potensi fisik,
psikis, menjadi suatu kekuatan yang integral.
c. Hukuman yang di berikan berkolerasi dengan tindakan anak,
d.
Terus menerus membekali guru untuk menambah wawasan pengetahuan,
kesempatan, pengalaman baru untuk mengembangkan kreativitas mereka.
e.
Konseling.Bukan siswa saja membutuhkan konseling, tapi juga guru. Sebab
guru juga mengalami masa sulit yang membutuhkan dukungan,
penguatan, atau bimbingan untuk menemukan jalan keluar yang terbaik.
f.
Segera memberikan pertolongan bagi siapa pun juga yang mengalami
tindakan kekerasan di sekolah,dan menindak lanjuti serta mencari
solusi alternatif yang terbaik.
Secara yuridis, tindakan
kekerasan diselesaikan secara hukum, litigasi atau non-litigasi. Menurut
pasal 1365 KUHPdt, “Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa
kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.” Pasal 1366
menetapkan bahwa “Setiap orang bertanggungjawab tidak saja untuk
kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian
yang disebabkan karena kelalaian, atau kurang hati-hatinya.” Pasal 1367
menetapkan bahwa guru sekolah bertanggung-jawab tentang kerugian yang
diterbitkan oleh murid selama waktu murid itu berada di bawah pengawasan
mereka, kecuali, jika mereka dapat membuktikan bahwa mereka tidak dapat
mencegah perbuatan yang mesti mereka seharusnya bertanggungjawab.
Dalam Hukum Pidana, perbuatan kekerasan bisa digolongkan sebagai
perbuatan pidana, umpama kejahatan kesusilaan, penghinaan, penganiayaan.
Ada 7 hal yang harus dipahami dan kemudian diterapkan oleh pendidik
untuk memperoleh kepercayaan anak didik agar mencapai maksud dari
pendidikan itu, tanpa harus menggunakan kekerasan.
1. Tindakan alternatif
Cara pendidikan tanpa kekerasan digambarkan sebagai sebuah cara ketiga
atau alternatif ketiga, setelah tindakan menyalahkan dan aksi kekerasan
karena hal itu. Seorang pendidik yang melihat kesalahan seorang siswa,
mempunyai tiga pilihan setelah itu, apakah dia akan menyalahkannya,
menggunakan kekerasan untuk memaksa siswa memperbaiki kesalahan itu atau
menggunakan cara ketiga yang tanpa kekerasan.
Menahan diri untuk
tidak menyalahkan tentu bukan perkara mudah bagi orang dewasa apabila
melihat sebuah kesalahan dilakukan oleh anak di depan matanya. Tapi
perlu diingat bahwa sebuah tudingan bagaimanapun akan berbuah balasan
dari anak, karena secara insting dia akan mempertahankan dirinya. Reaksi
atas sikap anak yang membela diri inilah yang ditakutkan akan berbuah
kekerasan dari pendidik terhadap anak didik.
2. Keakraban penuh keterbukaan
Keakraban maksudnya berbagi dengan orang lain dengan tidak
membeda-bedakan anak-anak didik, dan terbuka adalah tidak menutup-nutupi
hal apa pun atau mencoba mengambil keuntungan dari hal-hal yang tidak
diketahui siswa. Sebuah keakraban yang penuh keterbukaan hanya bisa
terjalin apabila adalah rasa persaudaraan kemanusiaan antara pihak
pendidik dan siswa.
Di dalam keakraban ada kasih sayang,
keramahan, sopan-santun, saling menghargai dan menghormati. Sedang
keterbukaan mengandung unsur kejujuran, kerelaan dan menerima apa
adanya.
Keakraban yang terbuka ini ibarat pintu bagi masuknya sebuah
kepercayaan. Ketika anak didik sudah merasakan keakraban yang terbuka
dari gurunya, maka dia dengan senang akan mendengarkan apa pun yang
disampaikan oleh sang guru.
3. Komunikasi yang jujur
Penipuan
adalah sesuatu yang sulit dipisahkan dari kekerasan, disebabkan
kurangnya rasa hormat kepada orang lain atau takut terhadap kenyataan.
Tindakan dengan kasih sayang didasarkan pada ukurannya dalam
kebenarannya setiap orang, yang tidak bisa memisahkan dirinya dari
kebenaran dan kenyataan.
Jadi, untuk menjadi benar kepada diri
sendiri, kita juga harus benar terhadap orang lain. Sampaikan kepada
anak didik kebenarannya; arahkan kemarahan kita terhadap kesalahannya,
bukan kepada orangnya. Temukan solusi dalam konflik dan kesalahpahaman,
dan itu tidak bisa dibangun apabila kita menggunakan kebohongan dan
penipuan.
4. Hormati Kebebasan dan Persamaan
Di dalam
pendidikan tanpa kekerasan ini, kita semuanya bebas dan setara, setiap
orang mendengarkan suara nurani sendiri dan saling berbagi perhatian.
Lalu kemudian dengan bebas diputuskan, berdasarkan pada semua
pertimbangan individu-individu, bagaimana keinginan bersama ingin
diwujudkan. Dengan demikian kita harus mengenali dengan jelas kebebasan
memilih dan hak yang sama setiap orang untuk mengambil bagian dalam
kegiatan itu.
Yang lebih penting lagi adalah kita menyadari
persamaan semua manusia dan menghormati kebebasan anak didik sama
seperti kita menghendaki kebebasan kita sendiri dihormati. Tindakan
tanpa kekerasan bukanlah bentuk usaha untuk mengendalikan yang lain atau
penggunaan paksaan terhadap mereka. Jika kita mencintai anak didik,
kita menghormati otonomi mereka untuk membuat keputusan-keputusan mereka
sendiri. Kita pasti dapat berkomunikasi dengan mereka, dan kita bahkan
dapat menghadapi mereka dengan kehadiran kita untuk memaksa mereka tanpa
kekerasan untuk membuat sebuah pilihan, jika kita yakin mereka telah
melakukan kesalahan. Perbedaan yang penting adalah kita tidak memaksa
mereka secara fisik atau dengan kasar untuk mencapai apa yang kita
inginkan.
5. Rasa kasih yang berani
Bertentangan dengan
kepercayaan umum, pendidikan tanpa kekerasan bukan sebuah metoda pasif
dan lemah, dan itu pasti bukan untuk para penakut. Tindakan tanpa
kekerasan lebih banyak membutuhkan keberanian dibanding perkelahian
dengan kekerasan seperti dalam peperangan, meski tampaknya itu semacam
keberanian. Karena jika kita melihat lebih jauh penggunaan senjata
merupakan kompensasi dari rasa takut terhadap lawan. Dan tindakan
kekerasan merupakan bukti adanya perasaan takut lawan lebih dulu
melakukannya terhadap kita. Jadi melakukan tindakan tanpa kekerasan
menunjukkan ketinggian martabat yang penuh keberanian.
Rasa
kasihan adalah anugerah kepada hati kita. Rasa kasihan bisa digambarkan
sebagai kasih yang tidak hanya berempati terhadap orang lain di dalam
merasakan apa yang mereka alami, tetapi juga mempunyai keberanian dan
kebijaksanaan untuk melakukan sesuatu terhadap hal itu. Di dalam rasa
kasihan, kita tidak melampiaskan kemarahan dan rasa benci kepada anak
didik yang melakukan kesalahan, namun dengan kemurahan hati dan
kepedulian, kita memperbaikinya. Rasa kasihan datang dari rasa kesatuan
dengan orang lain, memperluas hati kita sehingga kita bisa merasakan
empati atas penderitaan orang lain dan menolong mereka.
6. Saling mempercayai secara penuh
Cara dengan kasih sayang didasarkan pada keyakinan bahwa jika kita
bertindak dengan cara yang baik tidak akan pernah merugikan bagi
siapapun, dan akan menghasilkan kebaikan juga. Alih-alih mengendalikan
anak didik dengan ancaman dan kekuasaan kita, lebih baik menggunakan
kecerdasan masing-masing pihak untuk memecahkan masalah dengan
komunikasi yang baik dan negosiasi.
Untuk mempercayai anak didik
secara penuh kita harus melepaskan kepercayaan itu dari kendali kita
sendiri, dan membiarkan situasi memprosesnya. Tentu saja melepaskan
kepercayaan tidak berarti kita mempercayai dengan membabi buta. Kita
harus tetap memonitor apa yang terjadi dan memantau hasilnya secara
terus menerus.
7. Ketekunan dan kesabaran
Dalam pendidikan
tanpa kekerasan, kesabaran adalah kebaikan yang bersifat revolusioner.
Kesabaran bukanlah sebuah pembiaran tanpa tindakan apa pun, tetapi
peningkatan kualitas dari sebuah pertolongan yang bertahan pada
tuntutannya, dan melanjutkannya dengan cara cerdas penuh ketenangan.
Ketika kita terperangkap dalam situasi konflik, emosi kita sering sangat
aktif dan bergolak. Kita harus hati-hati dengan reaksi tanpa pemikiran
atas apa yang sedang kita lakukan dan konsekuensi-konsekuensi yang
mungkin terjadi. Kesabaran memberikan kepada kita waktu untuk berpikir
tentang tindakan-tindakan kita agar terhindar dari kekerasan dan
bertindak efektif. Lebih baik menunggu dan kehilangan sebuah peluang
kecil dibandingkan terburu-buru namun menemui sesuatu yang bodoh dan
tidak dipersiapkan. Peluang baru pasti akan muncul kemudian, jika kita
berusaha memecahkan persoalan, karena di lain waktu kita akan siap untuk
bertindak dengan cara yang baik.
Tidak seperti cara militer yang
cepat dan kasar, pendidikan tanpa kekerasan bersifat melambat dan
dimulai dengan peringatan-peringatan untuk memberikan kesempatan kepada
anak didik secara sadar berpikir bagaimana seharusnya. Kita tidak
menghendaki anak didik bereaksi dengan cepat secara insting. Kita
menghendaki anak didik mengetahui metoda-metoda kita sehingga mereka
dapat menanggapi sama tenang dan cerdasnya.
Ketekunan juga
berarti kita harus fleksibel di dalam strategi dan taktik kita. Jika
metodanya tidak berhasil, kita perlu mencoba cara lain. Jika jalannya
mendapatkan halangan, kita dapat beralih ke hal lain yang juga
memerlukan perhatian. Jika anak didik seperti kehilangan minatnya, kita
dapat dengan kreatif mencoba pendekatan baru terhadap permasalahan.
Pendidikan tanpa kekerasan harus dipenuhi kesabaran dan memaafkan dan
di saat yang sama gigih dalam membantu. Ketika anak didik mengakui
bahwa mereka sudah melakukan kesalahan, kita harus menunjukkan sifat
pemaaf kepada mereka. Sasaran terakhir dari pendidikan tanpa kekerasan
bukanlah kemenangan atas anak-anak didik kita tetapi menemukan sebuah
kehidupan yang harmonis antara pendidik sebagai orang tua, bersama-sama
dengan anak didik dalam damai dan keadilan.
BAB III
PENUTUP
Dari penjelasan di atas, yang terpenting untuk menanggulangi munculnya
praktik bullying di sekolah adalah ketegasan sekolah dalam menerapkan
peraturan dan sanksi kepada segenap warga sekolah, termasuk di dalamnya
guru, karyawan, dan siswa itu sendiri.
Kekerasan dalam pendidikan
sangat bertentangan dengan berbagai landasan dalam pendidikan antara
lain, landasan hukum, psikologi, sosial budaya dan filsafat. Hal ini
dapat dicegah apabila guru melaksanakan 7 prinsip pendidikan tanpa
kekerasan.
Diharapkan, dengan penegakan displin di semua unsur,
tidak terdengar lagi seorang guru menghukum siswanya dengan marah-marah
atau menampar. Dan diharapkan tidak ada lagi siswa yang melakukan
tindakan kekerasan terhadap temannya. Sebab, kalau terbukti melanggar,
berarti siap menerima sanksi.
Kita semua berharap kisah-kisah
suram kekerasan oleh pendidik dan orang tua secara umum tidak terjadi
lagi. Pendidikan dengan kekerasan hanya akan melahirkan
traumatis-traumatis yang berujung pada pembalasan dendam, dan kita semua
pasti tidak menghendaki hal demikian terus berlanjut tanpa
berkeputusan, kemudian melahirkan generasi-generasi penuh kekerasan.
DAFTAR PUSTAKA
Anwariansyah. 2009. 7 Prinsip Pendidikan Tanpa Kekerasan.
http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?ID=14997 diakses jam 5:42, 15 oktober 2012
Bahtiar, M. Hariman, Fenomena Kekerasan dan Pendidikan Kita.08. Kekerasan dalam
Pendidikan.
http://hardianti.blogspot.com/2008/03/kekerasan-dalam-pendidikan.html
diakses jam 5:42, 15 oktober 2012
Muchtar, fathuddin. 2008. Kekerasan
di Sekolah; Ironi Pendidikan di Indonesia.
http://www.yayasan-samin.org/index.php?option=com_content&view=article&id=19%3Akekerasan-di-sekolah-ironi-pendidikan-di-indonesia&catid=13%3Aarticles&Itemid=16&lang=in
diakses jam 5:42, 15 oktober 2012
NN. 2007. Kekerasan di Sekolah
“Puncak Gunung Es” Problem Pendidikan.
http://beritasore.com/2007/04/14/kekerasan-di-sekolah-puncak-gunung-es-problem-pendidikan/
diak
Gunawan,
Deden. Kekerasan di Sekolah.
http://www.lautanindonesia.com/forum/berita-(news)/kekerasan-smun-jakarta-970-82-34-dll)/
diakses jam 5:42, 15 oktober 2012
Hardianti. 20ses jam 5:42, 15 oktober 2012
NN. 2009. Menyikapi Fenomena
Kekerasan dalam Pendidikan.
http://www.tribunjabar.co.id/read/artikel/4781/menyikapi-fenomena-kekerasan-dalam-pendidikan
diakses 3 Desember 2009 diakses jam 5:42, 15 oktober 2012
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
Yanuar,andy.2009.
Digampar Guru, Siswa Pamekasan Ngaku Telinganya Berdengung.
http://surabaya.detik.com/read/2009/12/15/141237/1260501/475/digampar-guru-siswa-pamekasan-ngaku-telinganya-berdengung.
diakses jam 5:42, 15 oktober 2012